Perkembangan Dan Permasalahan Industri Alas Kaki Di Indonesia.
Perkembangan Dan Permasalahan Industri Alas Kaki Di Indonesia.
*Oleh : Sidnan Atrasina Adzhani
Dalam era globalisasi ini, dapat kita
temui berbagai perkembangan yang terjadi dalam kehidupan kita. Mulai dari hal
yang bersifat sehari hari maupun dalam skala yang lebih besar. Hal hal ini
memaksa kita untuk mengubah cara pandang agar kita lebih membuka persepsi akan
sesuatu yang lebih besar. Begitupun jalan nya perekonomian di Indonesia. Banyak
industri industri muncul dan membantu perkembangan Indonesia secara menyeluruh.
Namun, seperti yang sudah kita ketahui bahwa keadaan industri di Indonesia tidak
secanggih dan tidak se-maju industri internasional. Walaupun bisa dibilang Indonesia
merupakan negara yang memiliki bahan mentah yang sangat memadai. Baik dari
kualitas maupun kuantitas nya, bahan bahan dari Indonesia bisa dibilang
sangatlah bagus. Namun dalam proses pengolahan nya Indonesia belum mampu untuk
melakukan yang terbaik agar menghasilkan produk yang terbaik.
Persoalan inipun dirasakan oleh sektor
industri alas kaki di Indonesia. Industri kulit dan alas kaki merupakan
industri strategis dan prioritas untuk dikembangkan sesuai dengan Rencana Induk
Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035. Namun sayangnya pengembangan
industri masih menemui beragam kendala. Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil
dan Aneka Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Achmad Sigit Dwiwahjono
mengatakan, pada kuartal I 2017 industri tersebut mampu tumbuh 7,41 persen.
Angka ini lebih tinggi dibandingkan total pertumbuhan industri pengolahan
nonmigas pada periode yang sama sebesar 4,71 persen.
Indonesia telah dikenal sebagai salah satu
produsen sepatu/alas kaki terbesar di dunia. Saat ini Indonesia menduduki
peringkat keempat dunia sebagai produsen alas kaki di bawah China, India, dan
Vietnam. Pangsa pasar yang dimiliki Indonesia saat ini adalah sebesar 4,4
persen dan masih memiliki peluang untuk terus meningkatkan ekspornya. Hal ini
tercermin dari nilai ekspor industri sepatu/alas kaki pada tahun 2016 yang
meningkat sebesar 2,95 persen dibandingkan periode sebelumnya dengan surplus
USD4,15 miliar.
Selain itu juga terjadi peningkatan
investasi yang sangat signifikan pada industri kulit dan produk kulit serta
alas kaki, mencapai hampir empat kali lipat investasi tahun lalu, yakni sebesar
Rp7,62 triliun. Khusus untuk industri sepatu/alas kaki proyeksi realisasi
investasi tahun ini diperkirakan mencapai Rp3,49 triliun. Industri sepatu/alas
kaki nasional memiliki potensi untuk berkembang lebih besar seiring dengan
adanya pertumbuhan mode dan juga pertumbuhan penduduk dunia. Pertumbuhan mode
yang didorong oleh adanya kecenderungan anti arus utama, yakni pelanggan alas
kaki tidak suka jika disamakan dengan sepatu orang lain di sekitarnya membuat
permintaan atas variasi sepatu/ alas kaki meningkat.
Sementara pertumbuhan penduduk dunia
secara otomatis juga akan meningkatkan kebutuhan akan sepatu/alas kaki. Selain untuk
kebutuhan ekspor, potensi pertumbuhan industri sepatu/alas kaki juga
dipengaruhi oleh permintaan dalam negeri, khususnya oleh masyarakat kelas
menengah. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Boston Consulting Group yang
disarikan oleh Chairul Tanjung pada orasi ilmiahnya, pada tahun 2012 jumlah
kelas menengah di Indonesia mencapai 74 juta jiwa dan diperkirakan akan
meningkat sangat besar menjadi 141 juta di tahun 2020.
Dengan adanya pertumbuhan masyarakat kelas
menengah yang sangat signifikan ini, juga merupakan pasar potensial yang dapat
dikembangkan oleh industri sepatu/ alas kaki nasional. Namun demikian besarnya
potensi industri sepatu/alas kaki nasional untuk berkembang belum diiringi
dengan perkembangan sektor hulu industri ini. Industri sepatu/alas kaki masih
memiliki permasalahan yang mendasar yakni sebagian besar bahan baku, bahan
penolong dan aksesoris industri sepatu/alas kaki masih harus diimpor. Saat ini,
kebutuhan bahan baku untuk industri kulit, sepatu/ alas kaki hanya dapat
dipenuhi dari 3 dalam negeri sebesar 36 persen dari kapasitas industri
penyamakan nasional.
Jika kebutuhan bahan baku tersebut dapat
dilakukan substitusi impor dan dipenuhi dari dalam negeri, maka akan
meningkatkan nilai ekonomi industri sepatu/alas kaki. Saat ini nilai ekonomi di
industri kulit, barang dari kulit, dan sepatu/alas kaki berkisar Rp35 triliun
dengan impor Rp15 triliun. Dengan demikian masih ada kesempatan untuk
meningkatkan nilai ekonomi industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki
melalui substitusi impor.
Industri penyamakan kulit nasional
merupakan industri yang sangat potensial untuk dikembangkan. Hal ini karena
kualitas kulit nasional telah diakui dunia sebagai bahan baku barang jadi kulit
dan alas kaki berkualitas tinggi. Namun sayangnya industri kulit dan alas
kaki tersebut masih menghadapi beragam kendala, seperti kontinuitas
pasokan bahan baku berupa kulit hewan baik dari dalam negeri maupun impor. Hal
ini disebabkan oleh permasalahan pada tata niaga impor, permasalahan limbah,
keterbatasan SDM yang terampil, prosedur karantina serta kebijakan bea keluar
ekspor kulit.
Melihat seberapa besar potensi yang
dimiliki oleh sektor industri alas kaki di Indonesia. Banyak hal yang menjadi
kendala serta keadaan yang tidak mendukung perkembangan industri tersebut. Mulai
dari Supply bahan baku, Alat alat pabrik, Modal, Maupun SDM dari perusahaan
perusahaan tersebut. Hal ini sangat disayangkan dan patut untuk kita garis
bawahi, Karena peningkatan pada kualitas dan kuantitas produksi alas kaki di Indonesia
dapat menopang perekonomian Indonesia secara signifikan.
Industri alas kaki merupakan salah satu
sektor manufaktur andalan. Pertumbuhan kelompok industri kulit, barang dari
kulit, dan alas kaki pada 2018 mencapai 9,42 persen. Angka itu naik
dibandingkan 2017 sekitar 2,22 persen. Pertumbuhan industri juga diikuti
naiknya ekspor alas kaki 4,13 persen menjadi USD 5,11 miliar pada 2018 jika
dibandingkan tahun sebelumnya USD 4,91 miliar.
Kementerian Perindustrian mencatat tren
laju pertumbuhan kelompok industri alas kaki, kulit dan barang dari kulit terus
meningkat setiap tahunnya. Misalnya pada tahun 2018, sektor tersebut mampu
tumbuh hingga 9,42% atau naik signifikan dibanding 2017 yang berada di angka
2,22%. Ini tanda bahwa iklim usaha di Indonesia masih tetap kondusif seiring
dengan tekad pemerintah yang memberikan kemudahan perizinan usaha dan insentif yang
menarik.
Menperin menyampaikan, industri alas
kaki merupakan salah satu sektor manufaktur andalan yang mendapat prioritas
pengembangan dari pemerintah. Pasalnya, tergolong industri padat karya dan
berorientasi ekspor sehingga memberikan kontribusi besar bagi perekonomian
nasional. Industri alas kaki pun bersama industri tekstil dan pakaian, dipersiapkan
untuk memasuki era industri 4.0 agar lebih berdaya saing global. Hal ini guna
menyelaraskan implementasi roadmap Making
Indonesia 4.0. Sumbangsih nyata dari industri alas kaki, seperti capaian ekspor
alas kaki nasional yang mengalami peningkatan hingga 4,13 persen, dari tahun
2017 sebesar USD4,91 miliar menjadi USD5,11 miliar di 2018. Selain itu,
penyerapan tenaga kerja juga ikut naik, dari tahun 2017 sebanyak 795 ribu orang
menjadi 819 ribu orang di 2018.
Indonesia punya potensi yang cukup besar,
dengan jumlah industri alas kaki sebanyak 665 perusahaan, produksi nya
pun sudah menembus hingga 1,41 miliar pasang sepatu atau berkontribusi 4,6
persen dari total produksi sepatu dunia. Melalui capaian tersebut, Indonesia
menduduki posisi ke-4 sebagai produsen alas kaki di dunia setelah China, India,
dan Vietnam. Lebih lanjut, seiring akan adanya investor masuk di Indonesia,
industri alas kaki di Tanah Air diyakini semakin meningkat kapasitas
produksinya sehingga dapat memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri sekaligus
menjadi substitusi impor serta mengisi pasar ekspor. Sepanjang tahun 2018,
investasi di industri alas kaki sebesar Rp12,8 triliun naik dibanding tahun
2017 yang mencapai Rp12,1 triliun.
Pada tahun 2018 pemerintah Indonesia menyatakan
bahwa industri Indonesia telah menjalin kerja sama dengan Australia secara
khusus untuk meningkatkan kualitas produksi industri alas kaki Indonesia. Ini dapat
menjadi potensi untuk memperluas pasar ekspor bagi produk manufaktur indonesia.
Menperin menyebutkan, selain memiliki akses pasar lebih luas, keunggulan
industri alas kaki nasional antara lain tercermin dari kapasitas produksi,
kompetensi SDM, pemanfaatan teknologi, dan lokal konten yang tinggi. Tujuan
utama pasar ekspor produk alas kaki nasional, antara lain ke Amerika Serikat,
China, Jepang, dan Belgia. Indonesia didorong untuk menjadi eksportir ke-6
terbesar dunia untuk produk alas kaki, setelah China, Vietnam, Jerman, Belgia
dan Turki.
Namun terlepas dari semua itu, masalah
nyata yang dihadapi oleh industri alas kaki adalah mengenai pemberian upah, banyak
perselisihan yang muncul terkait dengan upah dari karyawan pabrik alas kaki di
banyak tempat. Dikarenakan ketidakseuaian antara modal dengan penjualan yang
berdampak pada upah mereka. Selain itu, minimnya jumlah investor pemasok bahan
baku yang tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Tekanan pada industri domestik kini
bertambah dengan tingginya upah minimum regional. Dalam industri alas kaki yang
mayoritas padat karya. Kementerian Perindustrian pun menginginkan adanya aturan
pengamanan perdagangan berupa safeguard untuk melindungi industri tersebut. Dengan
adanya safeguard, alas kaki dalam negeri diharapkan bisa semakin bersaing
dengan produk impor.
Aturan safeguard sebelumnya diberlakukan
untuk industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Pemerintah melalui Menteri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengeluarkan tiga peraturan menteri keuangan
(PMK) terkait serbuan produk impor. Sesuai dengan hasil penyelidikan awal
Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia, terdapat kerugian serius yang dialami
industri dalam negeri akibat dari lonjakan jumlah impor produk kain. Dengan
tiga aturan tersebut, pemerintah telah menetapkan kebijakan bea masuk tindakan
pengamanan sementara (BMTPS) untuk beberapa jenis barang impor.
Soal tingginya upah minimum kabupaten/kota
(UMK), contohnya di Provinsi Banten. Muncul wacana gelombang migrasi perusahaan
alas kaki ke luar Banten untuk mencari daerah yang memiliki upah rendah.
Tingginya biaya produksi akhirnya memengaruhi daya saing. Hal ini membuat
perusahaan alas kaki di banten tidak bisa bersaing dengan daerah lain maupun
secara global. Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy
Widjanarko melaporkan, pada Kemenperin sudah ada 25 pabrik alas kaki yang
hengkang dari Banten, termasuk dari Tangerang, untuk relokasi ke Jawa Tengah. Dan
dipercayai bahwa hal ini semata mata dikarenakan naiknya upah minimum di
Banten. Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang Perhubungan Carmelita Hartoto
menyatakan, tindakan yang logis bagi industri adalah menekan biaya produksi
melalui relokasi.
TARGET
INDUSTRI PENGOLAHAN NONMIGAS 2019
Jenis Industri | Pertumbuhan
Makanan dan minuman | 9,86%
Permesinan | 7%
Tekstil dan pakaian jadi | 5,61%
Kulit dan alas kaki | 5,40%
Jenis Industri | Pertumbuhan
Makanan dan minuman | 9,86%
Permesinan | 7%
Tekstil dan pakaian jadi | 5,61%
Kulit dan alas kaki | 5,40%
Tahun ini, akan dilakukan relokasi pabrik
di Banten ke daerah Jawa Tengah. Hal ini dilakukan untuk menekan upah minimum
yang akan berdampak secara signifikan pada biaya produksi dan operasional
perusahaan. Melihat tindakan ini, peluang industri di Indonesia akan meningkat
dan akan memperkuat industri Indonesia di kancah internasional.
Selain masalah upah, masalah investor pun
menjadi perhatian besar bagi pemerintah dan pihak perusahaan. Walaupun kualitas
bahan di Indonesia baik namun hal itu tidak bisa menarik investor investor
asing untuk berinvestasi pada industri di Indonesia. Pemerintah melakukan
banyak hal untuk membuat hubungan dan menjalin kerja sama dengan pihak asing
agar dapat perusahaan Indonesia dapat mencuri perhatian pihak pihak asing.
Saat ini, timbul peluang masuknya
investasi dari China ke Indonesia. Pasar di negara pesaing yakni Vietnam sudah
jenuh. Tinggal Kamboja dan Bangladesh yang masih berpeluang menadah investasi
dari luar. Meski demikian, Indonesia tetap punya peluang besar. Sampai dengan
saat ini sudah ada satu perusahaan asing yang menyatakan komitmen untuk menanamkan
modalnya di Indonesia. Namun, sejauh ini masih dalam proses sehingga belum bisa
diberitahukan berapa nilai investasinya.
Meski sudah ada sinyal positif investasi
di industri alas kaki bertambah di tahun depan, Akan ada banyak tantangan yang
akan dihadapi industri alas kaki di indonesia. Tantangan terbesarnya adalah
biaya tenaga kerja dan kemudahan berbisnis di Indonesia.
Mengenai biaya tenaga kerja, upah minimum
ditetapkan naik sebesar 8,51% jika dibandingkan dari 2019. Upah Minimum
Sektoral (UMSK) selama ini menjadi beban tambahan bagi industri khususnya padat
karya dan berorientasi ekspor. Beban tersebut mengakibatkan industri tidak
berdaya saing.
Di penghujung tahun 2019, Gubernur
Banten lewat surat keputusannya telah menetapkan adanya UMSK Kabupaten/Kota
se-Provinsi Banten. Firman menilai Pemda (Provinsi dan Kabupaten/Kota) Banten
tidak peka terhadap permasalahan industri. Ke depannya dipastikan Banten akan
semakin ditinggalkan.
"Daerah yang kompetitif akan
mendapatkan berkah dari investasi baru. Apabila daerah baru ini belajar dari
pengalaman di Banten yg ditinggal industri maka investasi dan bisnis akan
bisa sustainable di daerah baru tersebut," tegasnya. Selain harus membayar UMSK, Firman
mengatakan, pengusaha juga harus membayar biaya lainnya seperti BPJS kesehatan
dan BPJS Ketenagakerjaan yang ditanggung perusahaan. Kemudian, tantangan
lainnya adalah soal kemudahan berbisnis. Firman bilang, kendala perizinan dan
tumpang tindih aturan sedang dilihat pelaku usaha.
Untuk industri berorientasi ekspor yang
dilihat saat ini adalah perkembangan dari negosiasi Indonesia-European
Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Firman
menyebutkan, pesaing utama Indonesia di sektor manufaktur yakni Vietnam sudah
bisa mengeksekusi IEU-CEPA di 2020 sedangkan Indonesia belum.
"Kalau Indonesia belum menuntaskan
negosiasi dagangnya, tentu sulit menarik investasi ke dalam negeri,"
ujarnya. Firman menyatakan, kunci penyelesaian masalah ini ada dua yakni omnibus
law dan negosiasi dagang. Menurutnya yang terpenting bagaimana pemerintah
bisa mempertahankan dan mengembangkan bisnis yang sudah ada saat ini.
DAFTAR
PUSTAKA
https://kemenperin.go.id/artikel/20538/Produksi-Industri-Alas-Kaki-RI-Pijak-Posisi-4-Dunia
http://www.hukumtenagakerja.com/perselisihan-hubungan-industrial/jenis-jenis-perselisihan-hubungan-industrial/
https://gajimu.com/pekerjaan-yanglayak/serikat-pekerja/hubungan-industrial
https://www.jawapos.com/ekonomi/bisnis/23/11/2019/upah-tinggi-bebani-industri-alas-kaki/
https://industri.kontan.co.id/news/tahun-ini-industri-alas-kaki-bakal-lebih-banyak-investasi-untuk-relokasi?page=all
https://ekonomi.bisnis.com/read/20190904/257/1144432/produksi-alas-kaki-dan-tpt-bisa-dorong-pertumbuhan-manufaktur
Komentar
Posting Komentar